WELCOME TO MY BLOG, MY NAME IS FAIRUZ, PLEASE ENJOY WITH ME

Minggu, 01 Juli 2012

Memory For Me and You "Sekar"


SEKAR
Tanggisnya pecah malam itu, melihat sang ibu tercinta melambaikan tangan di ujung jendela mobil, terlintas dalam benak kecilnya, kapan sang bunda pulang dan kembali bermain dengannya. Ketika itu Ibunya terpakasa menjadi TKW di Arab Saudi demi memenuhi kebutuhan mereka. Gambaran perpisahan yang menyedihkan jelas terasa dalam hari-harinya ke depan. Gadis berusia 5 tahun itu tak paham akan kondisi yang akan dia terima.
 Namanya Sekar, dia lahir sebelum sempat melihat wajah Bapaknya. Bapaknya meninggal karena sakit kronis yang sudah lama diderita. Sejak kepergian Bapaknya, Ibunya lah yang mencari nafkah untuk keluarga. Sekar memiliki dua orang kakak bernama Satryo dan Anto. Sekar dan kedua kakaknya terpaut usia yang cukup jauh, Cak Satryo sudah tamat kursus bahasa inggris di salah satu tempat kursus di kota, sedangkan Cak Anto sudah tamat SMA dan akan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri di Surabaya.
Hanya ada dia dan kedua kakak tercintanya yang berada di sebuah rumah kecil yang tak jauh dari rumahku. Tak ada lagi kecerian yang biasa ku dengar dari tawa mereka, hari-hari mereka seolah sepi dan dingin. Tak kuasa melihat kondisi mereka, Ibuku pun menawari mereka bertiga untuk tinggal bersama kami dan tanpa berpikir panjang mereka meng-iya-kan tawaran Ibu. Kami masih sepupuan, sehingga sudah menjadi kewajiban kami juga untuk menjaga mereka.  
Aku sangat senang bersama Mbak Sekar, aku memanggil Mbak karena usiaku di bawahnya 2 tahun. Dia sangat hangat dan ngemong, maklum kakak perempuanku jauh lebih manja dariku. Aku lebih senang menjadi adik Mbak Sekar daripada Kakakku sendiri. Banyak waktu yang kami isi dengan bermain boneka dan masak-masakan ketika itu. Dia pandai memasak walau bukan masak sungguhan, hal itu jelas terlihat dari cara dia meramu bahan-bahan yang kami umpamakan sayur sungguhan. Benar-benar menyenangkan masa kecil kami, waktu itu aku berharap semoga kebahagian itu tak pernah lekang dan pergi.
***
Kami beranjak remaja, kala itu aku duduk di bangku kelas enam SD, Mbak Sekar juga sudah menginjak kelas dua SMP. Ada satu hal yang membuatku sangat kagum pada Mbak Sekar, dia tak pernah mengeluh akan keadaan yang dia terima, dengan rasa rindu yang amat dalam pada sang Bunda dia terus bersemangat menjalani hari-harinya. Sudah tiga tahun lebih Bundanya tak bisa pulang, satu saja alasannya, karena biaya tiket dari Arab Saudi ke Indonesia sangat mahal, sedangkan gaji Bundanya per bulan selain untuk kehidupan sehari-hari mereka juga untuk biaya kuliah Cak Anto.
Selama kebersamaan kami, aku tak pernah melihat Mbak Sekar sediam kali itu. Dia tak mau bicara. Aku sudah berupaya menanyakan alasan kediamannya agar dia mau bicara padaku. Namun, nyatanya Mbak Sekar masih sulit mengatakannya. Aku tak ingin memaksanya karena aku nyakin ini ada hubungannya dengan Bundanya. Tanpa berpikir panjang segara aku menemui Ibu yang sedang sibuk dengan mesin jahitnya.
“Ibu, kenapa ya Mbak Sekar terlihat diam hari ini?” Tanyaku.
“Wah, Ibu juga ndak tau nduk. Tadi ndak apa-apa kok. Mungkin karena kamu tadi pagi pergi ndak pamit sama dia, jadi ya dia nesu sekarang, ajak main saja ke luar.” Pinta Ibu.
Aku masih belum puas dengan jawaban Ibu, rasanya tidak mungkin hanya karena aku tak pamit Mbak Sekar tak mau bicara denganku. Untuk memenuhi hasrat penasaranku, aku mendatangi Cak Satryo yang sedang bekerja di tempat pembuatan kursi. Cak Satryo sebenarnya orangnya cerdas, namun entah kenapa nasibnya saat itu tak seberuntung kawan-kawan lainnya, dia hanya bisa bekerja sebagai tukang pembuat kursi, padalah dia layak sekali menjadi guru bahasa inggris, apalagi selain bahasa inggris dia juga bisa berbahasa Jepang dengan modal kamus Jepang pemberian Almarhum Ayahku. Namun, karena bukan sarjana dia sulit mewujudkan impiannya itu.
Cak, sibuk ndak? Aku mau tanya yo, Mbak Sekar hari ini murung sekali, kira-kira kenapa Cak?” Tanyaku dengan nada penasaran.
“Oh, paling yo karena dia minta pergi ke Surabaya belum tak turuti, dia kangen jalan-jalan sama Anto.” Jawab Cak Satryo dengan santai.
“Emm, sama saja Cak sampean dengan Ibu. Ya sudah aku pulang saja. Assalamu’alaikum.” Jawabku dengan penuh kecewa.
Aku heran kenapa semua orang terkesan cuek dengan keadaan Mbak Sekar hari itu. Semakin membuatku kesal saja. Tak berselang lama, tiba-tiba Mbak Sekar memanggilku dan mengajakku ke wartel. Maklum, saat itu kami belum memiliki handphone, jadi kami biasa pergi ke wartel, dan kami pun biasa menerima telpon dari Bundanya lewat telpon rumah tetangga kami.
***
Sesampainya di wartel, Mbak Sekar merayuku dengan suara lembutnya.
“Alya, kita telpon Bunda yuk. Aku dapat nomor telpon ini di bawah tempat tidur Cak Satryo. Sepertinya ini nomor Arab, digit-nya banyak sekali tak seperti nomor Indonesia.” Rayu Mbak Sekar mengharap aku meng-iya-kan pintanya.
“Tapi Mbak, ndak mahal lah kalau kita telpon ke Arab, kan jauh.” Sanggahku.
“Emm, mungkin mahal tapi ndak apa aku ada sedikit tabungan.” Jawab Mbak Sekar dengan menunjukkan uang tabungan di tangannya.
Aku melihat ada kerinduan yang amat dalam yang Mbak Sekar pendam untuk Bundanya. Apa mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku diposisi Mbak Sekar sekarang? Apa aku juga akan merenggek-renggek membujuk saudaraku untuk menemaniku menelpon Ibuku? Lalu dengan perasaan rela hati aku akan menggunakan uang tabunganku untuk menelpon dengan harapan Ibu mengangkat telponku di sana? Jawabnya pasti iya, sebab tak ada yang mampu mengantikan kelembutan kasih sayang seorang Ibu terhadap anaknya. Semua itu terjadi ketika kerinduan tak bisa lagi ditahan.
“Ayo Bun angkat telponku, Sekar rindu sekali. Ayo Bun, jangan buat Sekar tak bisa tidur lagi malam ini. Sekar ketakutan dengan mimpi itu. Cepatlah Bun angkat.” Rintihan Mbak Sekar dengan tetesan keringat yang menempel di gagang telpon itu.
“Sabar ya Mbak, mungkin Bunda lagi sibuk dan tak mendengar suara telpon!” Aku mencoba menenangkan Mbak Sekar yang terus mengulangi digit nomor telpon itu ketika telpon tak kunjung memberi jawaban gundahnya.
“Uuuh, ternyata Bunda benar-benar tak mendengarnya, Alya. Bunda lupa kalau hari ini dia janji menelponku.” Keluh Mbak Sekar dengan raut sedihnya.
“Maksud Mbak janji kapan?” Tanyaku penasaran.
“Tadi malam dalam mimpi Bunda bilang hari ini akan menelponku, Alya, tapi sampai senja begini Bunda belum juga memberi kabar, Bunda bohong!” Kesal Mbak Sekar lalu dengan keras dia menyandarkan tubuhnya di pintu loket wartel.
“Sudah Mbak, kita tunggu saja nanti malam, siapa tau Bunda masih sibuk jadi sampai sekarang belum bisa menelpon Mbak. Ayo Mbak pulang, nanti kita dicari-cari Ibu.” Bujukku dengan mengandeng tangannya.
***
Jam dinding kusam itu tepat di angka sepuluh, langit juga kian gelap dan suara bising di luar mulai lenyap. Saatnya aku istirahat dengan harapan malam ini Mbak Sekar akan tidur nyenyak dan tak gelisah seperti sepanjang hari tadi. Namun, kulihat Mbak Sekar masih saja duduk di teras rumah dengan satu harapan suara teriakan dari tetangga depan yang mengatakan ada telpon dari Bundanya. Dia tak peduli dengan rasa capek ditubuhnya, dia enggan melewatkan bukti janji Bundanya dalam mimpi, seperti berharap di atas ketidakpastian, sebab mimpi belum bisa dipercaya jika dia tak memberi bukti realita.
Saat langkahku semakin dekat dengan posisi duduk Mbak Sekar, tiba-tiba kakiku kaku dan tak sanggup melangkah sedikit pun, seperti ada sesuatu yang tak ingin ku buyarkan dalam konsentrasi pikiran Mbak Sekar. Dia begitu fokus terhadap dirinya sendiri, dan aku tak ingin menyia-nyiakan lamunan Mbak Sekar yang sudah menyatu dengan asanya, dia membutuhkan Bundanya malam itu, mungkin untuk sekedar mencium keningnya lewat suara di sambungan telpon atau seucap kalimat selamat tidur untuk mengawali semangatnya di hari esok. Entahlah.
***
Pagi itu aku tak bangun seperti biasa, jam beaker yang ku pasang ternyata tak mampu membangunkanku, aku benar-benar lelet bangun ketika hari libur. Satu hal yang ingin ku lakukan adalah melihat kamar Mbak Sekar dan mengajaknya jalan-jalan. Dan ketika aku hampir mengetuk pintu kamarnya, Ibu berbicara dari sudut dapur bahwa Mbak Sekar malam itu tak tidur di rumah kami. Rupanya tadi malam Mbak Sekar memilih tidur rumahnya sembari menantikan kabar dari Bundanya.
Aku sedikit kecewa kenapa aku tak dipamiti Mbak Sekar malam itu, apa karena aku kurang mendukung keinginan Mbak Sekar untuk mencari tau kabar Bundanya? Atau karena Mbak Sekar tak terpikirkan jika ada aku yang bisa membantu masalahnya? Berarti aku tak dianggap? Ah, pertanyaan bodoh jika aku menanggapi dengan serius. Lebih baik aku segera menemui Mbak Sekar langsung ke rumahnya dan bertanya apa ada perkembangan malam itu.
Sebelum aku menemui Mbak Sekar, aku mendengar Ibu berbicara dengan lantang dari arah dapur bahwa tadi malam dia bermimpi giginya copot dan risau sepanjang tidurnya. Entah dengan siapa Ibu tujukan kalimat itu, yang jelas di rumah hanya ada aku sebab Mbakku melanjutkan SMA di kota.
Belum langkahku sampai tujuan yaitu rumah Mbak Sekar tiba-tiba ada kabar yang di bawa salah satu pamong desa bahwa ada beberapa anak yang tenggelam di DAM yang merupakan aliran sodetan Bengawan Solo. Kabar itu terkesan menyeramkan karena nada cerita pamong desa itu sungguh menggebu-ngebu. Pamong desa itu juga memastikan bahwa ada empat gadis berjilbab dan satu pria sedikit pendek dengan membawa satu sepeda. Datang lagi tetangga lain yang membenarkan kabar itu, kemudian ada beberapa orang dari arah kejauhan mengendarai motor mereka dengan cukup laju. Seperti ada yang ingin mereka lihat dengan rasa penasarannya. Ada apa sebenarnya di DAM? Aku pun binggung dengan kondisi itu.
Suara Ibu berteriak dari dalam rumah menuju teras kecil kami, beberapa tetangga lain juga mulai keluar dari rumah mereka untuk menyimak berita yang disampaikan banyak orang itu. Tiba-tiba saja Ibu menyebutkan nama seseorang yang tak asing bagiku, dia sosok luar biasa yang pernah kukenal, dia tak pernah mengenal arti iri dalam dirinya, walaupun dia sangat berhak untuk iri. Dia membawa semangat untuk hari-hari istimewanya, yaitu dengan setumpuk harapan orang yang dia sangat cintai untuk pulang dengan keadaan sehat dan meneruskan kebersamaan yang bertahun-tahun terputus karena keadaan.
“Sekar di mana? Apa dia pergi ke DAM seperti yang sering dia lakukan setiap hari libur? Ke mana Sekar kok tak terlihat di sini? Di mana dia sekarang? Cepat jawab di mana Sekar?” Ibuku terus bertanya kepada kami seolah ada yang mengejar di dalam getaran ucapannya.
Ndak tau, Sekar tak terlihat dari tadi. Biasanya pagi-pagi begini dia lewat sini untuk menemui neneknya. Pagi ini aku ndak lihat eh, beneran.” Jawab tetangga depan rumahku.
“Eh, tadi subuh aku lihat Sekar lewat sini kok, wong dia malah manggil-manggil Bude! Alya! tapi pintu rumah Alya masih tutup dan Sekar berlalu saja.” Bantah tetanggaku yang lain.
“Ayo cari Sekar, coba panggil Satryo ke sini mungkin dia tau Sekar pagi tadi mau ke mana, cepaaat…” Pinta Ibu kepadaku.
Cak Satryo pun sedang asyik dengan pekerjaannya, dan aku pun segera menariknya ke arah gerombolan orang di depan rumahku. Mereka semua menanyakan ke mana Mbak Sekar tadi subuh, apakah sebelumnaya dia pamit secara langsung ke Cak Satryo atau tidak. Namun jawaban Cak Satryo mengagetkan banyak orang yang sedang menanti kepastian, ternyata Mbak Sekar malam itu justru tak tidur di rumah mereka dan pagi itu juga tak berpamitan apapun. Fakta yang terkuak adalah Mbak Sekar tidur di rumah neneknya. Sontak aku pun berlari menuju rumah neneknya untuk terus menanti kepastian sebenarnya posisi Mbak Sekar saat itu berada di mana.
Nenek Mbak Sekar memang dipamati, subuh itu Mbak Sekar pamit ingin jalan-jalan bersama beberapa teman dekatnya di sekolah, tujuan mereka setelah jalan-jalan akan ke sekolah untuk membayar registrasi naik ke kelas tiga. Saat itu Mbak Sekar juga mengatakan bahwa dia tak lama pergi, setelah selesai akan segera pulang dan mengantar neneknya ke pasar.
Tak kunjung mengetahui keberadaan Mbak Sekar saat itu, Ibuku pun dengan tegas meminta Cak Satryo untuk pergi ke DAM dan memastikan siapa yang tenggelam itu. Lekas Cak Satryo pergi ke sana dengan kondisi segar bugar karena baru saja mandi.
Belum sempat Cak Satryo kembali, di atas segala keresahan kami aku berdo’a dalam hati kecilku bahwa ini tak ada hubungannya dengan mimpi Ibuku tadi malam, ada mitos jika seseorang mimpi giginya copot maka akan ada kabar buruk yang datang padanya, entah musibah kematian atau yang lainnya, dan sedikitpun aku tak ingin mempercayainya.
 Tiba-tiba Ibuku berteriak dari arah gang sempit yang menghubungkan rumahku dengan nenek Mbak Sekar, ada salah seorang yang menanyakan di mana rumah Sekar dan kebetulan Ibuku lah yang menerima pertanyaan itu. Lagi-lagi aku mendengar kabar yang enggan ku dengar, ada yang tak beres, semua orang sibuk memastikan keberadaan Mbak Sekar dan kala itu ada kabar yang benar-benar mengejutkanku.
“Sekar lah yang tenggelam di DAM, ada satu orang lagi temannya yang juga ikut tenggelam. Mereka sama-sama tak dapat berenang dan beruntung ada Pak Amar yang segera melapor ke keluruhan dan sekarang mereka berdua dibawa ke puskesmas terdekat.” Bapak utusan kelurahan itu menyampaikannya pada kami.
Begitu terkejutnya kami semua saat itu, ternyata gadis itu adalah Mbak Sekar dan temanya. Ada fakta mengejutkan lagi, cerita tenggelamnya mereka adalah karena pulpen teman Mbak Sekar jatuh ke dasar DAM, dengan niat ingin menolong mengambil pulpen itu tiba-tiba Mbak Sekar terjatuh dan terbawa arus DAM yang saat itu sedang penuh dan teman (pemilik pulpen) itu juga berniat menolong Mbak Sekar, namun dia sendiri juga terbawa arus.
Menerima kabar yang aku sendiri semakin tak kuasa lagi mendengarnya bahwa teman Mbak Sekar meninggal di tempat kejadian dan Mbak Sekar akhirnya juga menghembuskan nafas terakhirnya ketika menuju puskesmas yang hanya memakan waktu lima belas menit itu. Mbak Sekar pergi bukan untuk menjemput Bundanya seperti mimpinya sejak kecil dan mungkin selama hidupnya. Namun, dia pergi untuk menemui sang Bapak yang tak pernah dia lihat sepanjang hidupnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar