SEKAR
Tanggisnya pecah malam itu, melihat sang ibu tercinta
melambaikan tangan di ujung jendela mobil, terlintas dalam benak kecilnya,
kapan sang bunda pulang dan kembali bermain dengannya. Ketika itu Ibunya
terpakasa menjadi TKW di Arab Saudi demi memenuhi kebutuhan mereka. Gambaran
perpisahan yang menyedihkan jelas terasa dalam hari-harinya ke depan. Gadis berusia
5 tahun itu tak paham akan kondisi yang akan dia terima.
Namanya Sekar,
dia lahir sebelum sempat melihat wajah Bapaknya. Bapaknya meninggal karena
sakit kronis yang sudah lama diderita. Sejak kepergian Bapaknya, Ibunya lah
yang mencari nafkah untuk keluarga. Sekar memiliki dua orang kakak bernama Satryo
dan Anto. Sekar dan kedua kakaknya terpaut usia yang cukup jauh, Cak Satryo sudah tamat kursus bahasa
inggris di salah satu tempat kursus di kota, sedangkan Cak Anto sudah tamat SMA dan akan melanjutkan kuliah di perguruan
tinggi negeri di Surabaya.
Hanya ada dia dan kedua kakak tercintanya yang berada
di sebuah rumah kecil yang tak jauh dari rumahku. Tak ada lagi kecerian yang
biasa ku dengar dari tawa mereka, hari-hari mereka seolah sepi dan dingin. Tak
kuasa melihat kondisi mereka, Ibuku pun menawari mereka bertiga untuk tinggal
bersama kami dan tanpa berpikir panjang mereka meng-iya-kan tawaran Ibu. Kami
masih sepupuan, sehingga sudah menjadi kewajiban kami juga untuk menjaga
mereka.
Aku sangat senang bersama Mbak Sekar, aku memanggil
Mbak karena usiaku di bawahnya 2 tahun. Dia sangat hangat dan ngemong, maklum
kakak perempuanku jauh lebih manja dariku. Aku lebih senang menjadi adik Mbak Sekar
daripada Kakakku sendiri. Banyak waktu yang kami isi dengan bermain boneka dan
masak-masakan ketika itu. Dia pandai memasak walau bukan masak sungguhan, hal
itu jelas terlihat dari cara dia meramu bahan-bahan yang kami umpamakan sayur
sungguhan. Benar-benar menyenangkan masa kecil kami, waktu itu aku berharap semoga
kebahagian itu tak pernah lekang dan pergi.
***
Kami beranjak remaja, kala itu aku duduk di bangku
kelas enam SD, Mbak Sekar juga sudah menginjak kelas dua SMP. Ada satu hal yang
membuatku sangat kagum pada Mbak Sekar, dia tak pernah mengeluh akan keadaan
yang dia terima, dengan rasa rindu yang amat dalam pada sang Bunda dia terus
bersemangat menjalani hari-harinya. Sudah tiga tahun lebih Bundanya tak bisa pulang,
satu saja alasannya, karena biaya tiket dari Arab Saudi ke Indonesia sangat mahal,
sedangkan gaji Bundanya per bulan selain untuk kehidupan sehari-hari mereka
juga untuk biaya kuliah Cak Anto.
Selama kebersamaan kami, aku tak pernah melihat Mbak
Sekar sediam kali itu. Dia tak mau bicara. Aku sudah berupaya menanyakan alasan
kediamannya agar dia mau bicara padaku. Namun, nyatanya Mbak Sekar masih sulit
mengatakannya. Aku tak ingin memaksanya karena aku nyakin ini ada hubungannya
dengan Bundanya. Tanpa berpikir panjang segara aku menemui Ibu yang sedang
sibuk dengan mesin jahitnya.
“Ibu, kenapa ya Mbak Sekar terlihat diam hari ini?” Tanyaku.
“Wah, Ibu juga ndak tau nduk. Tadi ndak apa-apa kok. Mungkin karena kamu tadi pagi pergi
ndak pamit sama dia, jadi ya dia nesu sekarang, ajak main saja ke luar.”
Pinta Ibu.
Aku masih belum puas dengan jawaban Ibu, rasanya tidak
mungkin hanya karena aku tak pamit Mbak Sekar tak mau bicara denganku. Untuk
memenuhi hasrat penasaranku, aku mendatangi Cak
Satryo yang sedang bekerja di tempat pembuatan kursi. Cak Satryo sebenarnya orangnya cerdas, namun entah kenapa nasibnya
saat itu tak seberuntung kawan-kawan lainnya, dia hanya bisa bekerja sebagai tukang pembuat kursi, padalah dia layak sekali menjadi
guru bahasa inggris, apalagi selain bahasa inggris dia juga bisa berbahasa
Jepang dengan modal kamus Jepang pemberian Almarhum Ayahku. Namun, karena bukan
sarjana dia sulit mewujudkan impiannya itu.
“Cak, sibuk ndak? Aku mau tanya yo, Mbak Sekar hari ini murung sekali, kira-kira kenapa Cak?” Tanyaku dengan nada penasaran.
“Oh, paling yo
karena dia minta pergi ke Surabaya belum tak
turuti, dia kangen jalan-jalan sama Anto.” Jawab Cak Satryo dengan santai.
“Emm, sama saja Cak
sampean dengan Ibu. Ya sudah aku
pulang saja. Assalamu’alaikum.” Jawabku dengan penuh kecewa.
Aku heran kenapa semua orang terkesan cuek dengan keadaan Mbak Sekar hari itu.
Semakin membuatku kesal saja. Tak berselang lama, tiba-tiba Mbak Sekar memanggilku
dan mengajakku ke wartel. Maklum, saat itu kami belum memiliki handphone, jadi kami biasa pergi
ke wartel, dan kami pun biasa menerima telpon dari Bundanya lewat telpon rumah tetangga kami.
***
Sesampainya di wartel, Mbak Sekar merayuku dengan suara
lembutnya.
“Alya, kita telpon Bunda yuk. Aku dapat nomor telpon ini di bawah tempat tidur Cak Satryo. Sepertinya ini nomor Arab, digit-nya banyak sekali tak seperti
nomor Indonesia.” Rayu Mbak Sekar mengharap aku meng-iya-kan pintanya.
“Tapi Mbak, ndak
mahal lah kalau kita telpon ke Arab, kan jauh.” Sanggahku.
“Emm, mungkin mahal tapi ndak apa aku ada sedikit tabungan.” Jawab Mbak Sekar dengan
menunjukkan uang tabungan di tangannya.
Aku melihat ada kerinduan yang amat dalam yang Mbak
Sekar pendam untuk Bundanya. Apa mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika
aku diposisi Mbak Sekar sekarang? Apa aku juga akan merenggek-renggek membujuk
saudaraku untuk menemaniku menelpon Ibuku? Lalu dengan perasaan rela hati aku akan
menggunakan uang tabunganku untuk menelpon dengan harapan Ibu mengangkat
telponku di sana? Jawabnya pasti iya, sebab tak ada yang mampu mengantikan
kelembutan kasih sayang seorang Ibu terhadap anaknya. Semua itu terjadi ketika
kerinduan tak bisa lagi ditahan.
“Ayo Bun angkat telponku, Sekar rindu sekali. Ayo Bun,
jangan buat Sekar tak bisa tidur lagi malam ini. Sekar ketakutan dengan mimpi
itu. Cepatlah Bun angkat.” Rintihan Mbak Sekar dengan tetesan keringat yang
menempel di gagang telpon itu.
“Sabar ya Mbak, mungkin Bunda lagi sibuk dan tak
mendengar suara telpon!” Aku mencoba menenangkan Mbak Sekar yang terus
mengulangi digit nomor telpon itu ketika telpon tak kunjung memberi jawaban gundahnya.
“Uuuh, ternyata Bunda benar-benar tak mendengarnya,
Alya. Bunda lupa kalau hari ini dia janji menelponku.” Keluh Mbak Sekar dengan
raut sedihnya.
“Maksud Mbak janji kapan?” Tanyaku penasaran.
“Tadi malam dalam mimpi Bunda bilang hari ini akan
menelponku, Alya, tapi sampai senja begini Bunda belum juga memberi kabar, Bunda
bohong!” Kesal Mbak Sekar lalu dengan keras dia menyandarkan tubuhnya di pintu
loket wartel.
“Sudah Mbak, kita tunggu saja nanti malam, siapa tau
Bunda masih sibuk jadi sampai sekarang belum bisa menelpon Mbak. Ayo Mbak
pulang, nanti kita dicari-cari Ibu.” Bujukku dengan mengandeng tangannya.
***
Jam dinding kusam itu tepat di angka sepuluh, langit
juga kian gelap dan suara bising di luar mulai lenyap. Saatnya aku istirahat
dengan harapan malam ini Mbak Sekar akan tidur nyenyak dan tak gelisah seperti
sepanjang hari tadi. Namun, kulihat Mbak Sekar masih saja duduk di teras rumah
dengan satu harapan suara teriakan dari tetangga depan yang mengatakan ada
telpon dari Bundanya. Dia tak peduli dengan rasa capek ditubuhnya, dia enggan
melewatkan bukti janji Bundanya dalam mimpi, seperti berharap di atas
ketidakpastian, sebab mimpi belum bisa dipercaya jika dia tak memberi bukti
realita.
Saat langkahku semakin dekat dengan posisi duduk Mbak
Sekar, tiba-tiba kakiku kaku dan tak sanggup melangkah sedikit pun, seperti ada
sesuatu yang tak ingin ku buyarkan dalam konsentrasi pikiran Mbak Sekar. Dia
begitu fokus terhadap dirinya sendiri, dan aku tak ingin menyia-nyiakan lamunan
Mbak Sekar yang sudah menyatu dengan asanya, dia membutuhkan Bundanya malam itu,
mungkin untuk sekedar mencium keningnya lewat suara di sambungan telpon atau
seucap kalimat selamat tidur untuk mengawali semangatnya di hari esok.
Entahlah.
***
Pagi itu aku tak bangun seperti biasa, jam beaker yang
ku pasang ternyata tak mampu membangunkanku, aku benar-benar lelet bangun ketika hari libur. Satu hal
yang ingin ku lakukan adalah melihat kamar Mbak Sekar dan mengajaknya
jalan-jalan. Dan ketika aku hampir mengetuk pintu kamarnya, Ibu berbicara dari
sudut dapur bahwa Mbak Sekar malam itu tak tidur di rumah kami. Rupanya tadi
malam Mbak Sekar memilih tidur rumahnya sembari menantikan kabar dari Bundanya.
Aku sedikit kecewa kenapa aku tak dipamiti Mbak Sekar malam
itu, apa karena aku kurang mendukung keinginan Mbak Sekar untuk mencari tau
kabar Bundanya? Atau karena Mbak Sekar tak terpikirkan jika ada aku yang bisa
membantu masalahnya? Berarti aku tak dianggap? Ah, pertanyaan bodoh jika aku
menanggapi dengan serius. Lebih baik aku segera menemui Mbak Sekar langsung ke
rumahnya dan bertanya apa ada perkembangan malam itu.
Sebelum aku menemui Mbak Sekar, aku mendengar Ibu
berbicara dengan lantang dari arah dapur bahwa tadi malam dia bermimpi giginya copot dan risau sepanjang tidurnya.
Entah dengan siapa Ibu tujukan kalimat itu, yang jelas di rumah hanya ada aku
sebab Mbakku melanjutkan SMA di kota.
Belum langkahku sampai tujuan yaitu rumah Mbak Sekar
tiba-tiba ada kabar yang di bawa salah satu pamong desa bahwa ada beberapa anak
yang tenggelam di DAM yang merupakan aliran sodetan Bengawan Solo. Kabar itu
terkesan menyeramkan karena nada cerita pamong desa itu sungguh menggebu-ngebu.
Pamong desa itu juga memastikan bahwa ada empat gadis berjilbab dan satu pria
sedikit pendek dengan membawa satu sepeda. Datang lagi tetangga lain yang
membenarkan kabar itu, kemudian ada beberapa orang dari arah kejauhan
mengendarai motor mereka dengan cukup laju. Seperti ada yang ingin mereka lihat
dengan rasa penasarannya. Ada apa sebenarnya di DAM? Aku pun binggung dengan
kondisi itu.
Suara Ibu berteriak dari dalam rumah menuju teras
kecil kami, beberapa tetangga lain juga mulai keluar dari rumah mereka untuk
menyimak berita yang disampaikan banyak orang itu. Tiba-tiba saja Ibu
menyebutkan nama seseorang yang tak asing bagiku, dia sosok luar biasa yang
pernah kukenal, dia tak pernah mengenal arti iri dalam dirinya, walaupun dia
sangat berhak untuk iri. Dia membawa semangat untuk hari-hari istimewanya,
yaitu dengan setumpuk harapan orang yang dia sangat cintai untuk pulang dengan
keadaan sehat dan meneruskan kebersamaan yang bertahun-tahun terputus karena
keadaan.
“Sekar di mana? Apa dia pergi ke DAM seperti yang
sering dia lakukan setiap hari libur? Ke mana Sekar kok tak terlihat di sini? Di mana dia sekarang? Cepat jawab di mana
Sekar?” Ibuku terus bertanya kepada kami seolah ada yang mengejar di dalam
getaran ucapannya.
“Ndak tau,
Sekar tak terlihat dari tadi. Biasanya pagi-pagi begini dia lewat sini untuk
menemui neneknya. Pagi ini aku ndak lihat eh,
beneran.” Jawab tetangga depan rumahku.
“Eh, tadi subuh aku lihat Sekar lewat sini kok, wong
dia malah manggil-manggil Bude! Alya!
tapi pintu rumah Alya masih tutup dan Sekar berlalu saja.” Bantah tetanggaku
yang lain.
“Ayo cari Sekar, coba panggil Satryo ke sini mungkin
dia tau Sekar pagi tadi mau ke mana, cepaaat…” Pinta Ibu kepadaku.
Cak Satryo pun sedang asyik dengan pekerjaannya, dan aku
pun segera menariknya ke arah gerombolan orang di depan rumahku. Mereka semua
menanyakan ke mana Mbak Sekar tadi subuh, apakah sebelumnaya dia pamit secara
langsung ke Cak Satryo atau tidak.
Namun jawaban Cak Satryo mengagetkan
banyak orang yang sedang menanti kepastian, ternyata Mbak Sekar malam itu
justru tak tidur di rumah mereka dan pagi itu juga tak berpamitan apapun. Fakta
yang terkuak adalah Mbak Sekar tidur di rumah neneknya. Sontak aku pun berlari
menuju rumah neneknya untuk terus menanti kepastian sebenarnya posisi Mbak
Sekar saat itu berada di mana.
Nenek Mbak Sekar memang dipamati, subuh itu Mbak Sekar
pamit ingin jalan-jalan bersama beberapa teman dekatnya di sekolah, tujuan
mereka setelah jalan-jalan akan ke sekolah untuk membayar registrasi naik ke
kelas tiga. Saat itu Mbak Sekar juga mengatakan bahwa dia tak lama pergi,
setelah selesai akan segera pulang dan mengantar neneknya ke pasar.
Tak kunjung mengetahui keberadaan Mbak Sekar saat itu,
Ibuku pun dengan tegas meminta Cak Satryo
untuk pergi ke DAM dan memastikan siapa yang tenggelam itu. Lekas Cak Satryo pergi ke sana dengan kondisi
segar bugar karena baru saja mandi.
Belum sempat Cak
Satryo kembali, di atas segala keresahan kami aku berdo’a dalam hati kecilku
bahwa ini tak ada hubungannya dengan mimpi Ibuku tadi malam, ada mitos jika
seseorang mimpi giginya copot maka akan ada kabar
buruk yang datang padanya, entah musibah kematian atau yang lainnya, dan sedikitpun aku
tak ingin mempercayainya.
Tiba-tiba Ibuku
berteriak dari arah gang sempit yang
menghubungkan rumahku dengan nenek Mbak Sekar, ada salah seorang yang
menanyakan di mana rumah Sekar dan kebetulan Ibuku lah yang menerima pertanyaan
itu. Lagi-lagi aku mendengar kabar yang enggan ku dengar, ada yang tak beres,
semua orang sibuk memastikan keberadaan Mbak Sekar dan kala itu ada kabar yang
benar-benar mengejutkanku.
“Sekar lah yang tenggelam di DAM, ada satu orang lagi
temannya yang juga ikut tenggelam. Mereka sama-sama tak dapat berenang dan
beruntung ada Pak Amar yang segera melapor ke keluruhan dan sekarang mereka
berdua dibawa ke puskesmas terdekat.” Bapak utusan kelurahan itu menyampaikannya pada kami.
Begitu terkejutnya kami semua saat itu, ternyata gadis
itu adalah Mbak Sekar dan temanya. Ada fakta mengejutkan lagi, cerita
tenggelamnya mereka adalah karena pulpen teman Mbak Sekar jatuh ke dasar DAM,
dengan niat ingin menolong mengambil pulpen itu tiba-tiba Mbak Sekar terjatuh
dan terbawa arus DAM yang saat itu sedang penuh dan teman (pemilik pulpen) itu
juga berniat menolong Mbak Sekar, namun dia sendiri juga terbawa arus.
Menerima kabar yang aku sendiri semakin tak kuasa lagi
mendengarnya bahwa teman Mbak Sekar meninggal di tempat kejadian dan Mbak Sekar
akhirnya juga menghembuskan nafas terakhirnya ketika menuju puskesmas yang hanya
memakan waktu lima belas menit itu. Mbak Sekar pergi bukan untuk menjemput
Bundanya seperti mimpinya sejak kecil dan mungkin selama hidupnya. Namun, dia
pergi untuk menemui sang Bapak yang tak pernah dia lihat sepanjang hidupnya.
***